Halaqah 25: Landasan Pertama Ma’rifatullah Bagian 13 Dalil Ibadah Bernadzar

Materi HSI pada halaqah ke-25 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentanglandasan pertama ma'rifatullah bagian 13 dalil ibadah bernadzar. Beliau mengatakan,

ودليل النّذر قوله تعالى: {یُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَیَخَافُونَ یَوۡمࣰا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِیرࣰا}

Dan dalil bahwasanya nadzar adalah termasuk ibadah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,
“Mereka menyempurnakan nadzarnya dan takut pada sebuah hari di mana (شرّ) kejelekan pada hari tersebut menyebar (yaitu pada hari kiamat).” [QS. Al Insan 7]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji di dalam ayat ini, orang-orang beriman yang mereka menyempurnakan nadzarnya.

Mereka menyempurnakan nadzar dan takut apabila tidak menyempurnakan nadzar akan tertimpa kejelekan di hari kiamat.

Menunjukkan bahwasanya menyempurnakan nadzar adalah perkara yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang menunaikan nadzarnya, maksudnya nadzar untuk berbuat taat.

Seseorang bernadzar untuk melakukan umrah, bernadzar untuk melakukan shadaqah. Menyempurnakan nadzar adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dicintai, diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan wajib seseorang untuk menyempurnakan nadzar.

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Hadits shahih riwayat Al Bukhari nomor 6696]

Dan para ulama menyebutkan bahwasanya memulai nadzar hukumnya adalah makruh. Dan apabila seseorang sudah terlanjur bernadzar, maka dia wajib untuk menunaikan nadzarnya tersebut.

Memulai nadzar adalah makruh (dibenci di dalam syar’iat).

Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam,

إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“Sesungguhnya nadzar ini tidak mendatangkan kebaikan akan tetapi nadzar ini keluar dari orang yang bakhil.” [Hadits shahih riwayat Muslim nomor 1639]

Kenapa demikian?
Karena orang yang bernadzar, misalnya mengatakan,
“Ya Allah, seandainya aku lulus ujian, maka aku akan berpuasa tiga hari atau aku akan berpuasa Senin Kamis bulan depan.”

Artinya apabila dia lulus ujian, maka dia akan berpuasa tetapi kalau dia tidak lulus ujian maka dia tidak berpuasa. Dia tidak melakukan ketaatan tersebut kecuali apabila hajatnya dipenuhi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ini adalah orang yang bakhil di dalam ibadahnya.

Dan nasihat kita, jangan sampai kita bermudah-mudah untuk bernadzar, karena belum tentu apabila kita terpenuhi hajatnya, kemudian saat itu kita mampu untuk melakukan nadzar tersebut.

Terkadang seseorang sakit, terkadang dia memiliki kesibukan atau di sana ada keadaan-keadaan (kondisi) yang menjadikan dia tidak bisa menunaikan nadzarnya.

Seseorang beribadah kepada Allah dan berusaha taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa harus bernadzar.

Dan bernadzar disyaratkan tidak boleh di dalam kemaksiatan. Apabila seseorang bernadzar untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh menunaikan nadzar tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam,

وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اَللَّهَ فَلَا يَعْصِهِ

“Barangsiapa bernadzar untuk memaksiati Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka janganlah dia berbuat maksiat.” [Hadits shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6700)

Karena ada sebagian orang bernadzar untuk berbuat maksiat, seandainya terpenuhi hajat tertentu maka dia akan berjudi atau akan berzina, atau akan melakukan ini dan itu. Kalau itu adalah kemaksiatan maka tidak boleh dia menunaikan nadzarnya.

Jadi kesimpulannya bahwasanya:
Nadzar adalah ibadah, tidak boleh kita serahkan nadzar ini kepada selain Allah.

Bagaimana nadzar kepada selain Allah?
Seseorang bernadzar untuk wali yang sudah meninggal, “Seandainya aku begini dan begitu niscaya aku akan menyembelih untuk wali fulan atau aku akan melakukan ini untuk wali fulan”, maka ini adalah bernadzar untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan ini hukumnya syirik, bahkan termasuk syirik besar, yang membatalkan amalan, mengeluarkan seseorang dari Islam, dan apabila dia meninggal tanpa berbertaubat kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni dosa ini.

Dengan demikian kita sudah menyelesaikan poin yang pertama dari apa yang ingin beliau sampaikan yaitu tentang Ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala).
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url