Halaqah 42: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Cabang Keimanan Terendah Adalah Menyingkirkan Gangguan dari Jalan

Materi HSI pada halaqah ke-42 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentang landasan kedua ma'rifatu dinil islam bil adillah cabang keimanan terendah adalah menyngkirkan gangguan dari jalan. Beliau rahimahullah mengatakan,

وأدناها إماطة الأذى عن الطريق

“Cabang-cabang keimanan yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan di jalan.”

Cabang yang paling bawah adalah yang paling kecil pahalanya, yaitu menyingkirkan gangguan di jalan.
Misalnya: Seseorang melihat di jalan ada sesuatu yang bisa membuat ban bocor atau ada sesuatu yang dikhawatirkan terkena kaki seseorang atau ada lubang yang dikhawatirkan bila ada sepeda lewat bisa jatuh.

Maka dia singkirkan gangguan dari jalan tersebut. Dia mendapatkan pahala, kalau dia melakukannya dengan ihtiisaaban, mengharap pahala dari Allah. Meskipun pahalanya adalah yang paling kecil.

Jangan dipahami kalau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah cabang keimanan yang paling rendah, kemudian dianggap orang yang tidak menyingkirkan gangguan dari jalan berarti dia tidak memiliki keimanan. Jangan dipahami demikian. Kemudian mengatakan, ini adalah tingkatan iman yang paling rendah. Kalau sampai tidak memiliki tingkat ini berarti dia keluar dari agama Islam.

Jika cabang keimanan yang paling rendah saja dia tidak punya menunjukkan dia telah keluar dari Islam. Jangan dipahami demikian.

Tapi pemahaman yang benar Wallahu Ta’ala A’lam adalah seperti yang tadi kita sebutkan bahwasanya menyingkirkan gangguan di jalan adalah cabang keimanan yang pahalanya paling kecil dan tidak berarti orang yang tidak melakukannya kemudian dia keluar dari Iman atau keluar dari Islam.

Banyak diantara kita orang Islam ketika melihat sesuatu yang menganggu orang lain di jalan dia biarkan saja. Bahkan dia sendiri yang menjadi penyebabnya, misalnya dengan parkir sembarangan.
Perkara ini tidak diajarkan di dalam agama Islam.

Ketika sedang kajian jangan kita parkir sembarangan. Jangan sampai kotoran dari rumah kita menganggu orang yang ada di jalan. Orang beriman memiliki perasaan jangan sampai dia menjadi sebab terganggunya orang lain di jalan.

Kita diperintahkan untuk menyingkirkan. Kalau melihat ada gangguan yang ada di jalan, kita diperintahkan untuk menyingkirkan. Maka tentunya lebih diperintahkan lagi untuk mencegah diri dari menjadi sebab terganggunya orang lain di jalan. Kita singkirkan meskipun yang melakukan bukan kita. Misalnya ada orang yang buang sesuatu di tengah jalan, mengganggu manusia. Jangan mengatakan, yang buang bukan saya kok. Tapi kita ingat hadits ini, kita singkirkan, dengan ihtiisaaban, mengharap pahala dari Allah, meskipun pahalanya adalah pahala yang kecil diantara 73 cabang yang lain.

Tapi apakah yang kecil tadi Allah sia-siakan di akhirat? Tidak.
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًۭا يَرَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah 7)

مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Orang yang datang membawa kebaikan di akhirat maka baginya (pahala) minimal sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An’am 160)

Bukan semuanya kemudian dilipatgandakan hanya 10 kali. Tidak. Allah akan lipatgandakan sesuai dengan kehendaknya, dilihat dari keikhlasan, kesungguhan, dan mutaba’ah-nya. Mungkin bisa 20, 50, 100, sampai 700 bahkan bisa lebih.

Kalau seseorang menyingkirkan gangguan dari jalan, kemudian di hatinya bermunculan perasaan mengharap pahala dari Allah, membayangkan pahala di akhir, membayangkan bagaimana seseorang selamat dari gangguan, melakukan itu semua karena mengharap pahala dari Allah, ikhlas karena Allah, mungkin saja Allah Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan amalan yang sebenarnya pahalanya adalah paling kecil tadi, tapi dengan keutamaan, rahmat, fadhl dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah lipatgandakan sehingga menjadi amalan yang besar.

Disebutkan di dalam hadits,

بَيْنَما كَلْبٌ يُطيف بِركِيَّةٍ قَدْ كَادَ يقْتُلُه الْعطَشُ إِذْ رأتْه بغِيٌّ مِنْ بَغَايا بَنِي إِسْرَائيلَ، فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فاسْتَقت لَهُ بِهِ، فَسَقَتْهُ فَغُفِر لَهَا بِهِ
“Ketika seekor anjing sedang mencari-cari, hampir-hampir rasa haus itu menjadikan dia meninggal dunia, tiba-tiba seorang pelacur dari pelacur-pelacur Bani Israil melihat anjing ini dan ada di dalam hatinya iba, rahmat, sayang kepadanya meskipun itu adalah seekor anjing. Akhirnya tergerak hatinya, dia lepaskan sepatunya dan mengambil air dengannya kemudian memberikan minum kepada anjing tersebut. Maka Allah mengampuni dosa pelacur tadi.”

Jangan dilihat kepada anjing dan hewan yang dia berikan minum tadi. Tapi Allah melihat apa yang ada di dalam hatinya berupa keikhlasan. Ketika dia melakukannya, tidak ada yang melihat, tidak ingin dipuji oleh orang, tidak ingin dikatakan sebagai penyayang binatang, dsb. Dia lakukan ikhlas karena Allah, maka Allah mengampuni dosanya.

Dosa berzina adalah dosa besar, apalagi dijadikan sebagai mata pencaharian, bukan hanya sekali dua kali dia lakukan. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosanya dengan sebab keikhlasan dan kesungguhan di dalam hatinya.

Ini adalah syahid. Terkadang amalan yang kecil jika kita sertai dengan keikhlasan maka akan dibesarkan oleh Allah pahalanya.

Kemudian setelahnya beliau menyebutkan tentang cabang keimanan yang berada diantara yang tinggi dan yang rendah.

Beliau rahimahullah mengatakan,

والحياء شعبة من الإيمان

“Dan rasa malu adalah cabang dari keimanan.”

Darimana kita tahu bahwasanya hayyaa’ (حياء) Ini adalah bukan yang a’laa (أعلا) bukan juga yang adnaa (أدنا). Tapi dia ada diantara yang a’laa dan adnaa. Dia adalah salah satu diantara cabang-cabang keimanan.

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak menyebutkan apakah rasa malu ini ada di nomor 60 atau 50 atau 40, yang jelas dia adalah satu diantara cabang-cabang keimanan.

Yang dimaksud dengan malu di sini adalah malu yang menyebabkan seseorang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Inilah malu yang merupakan cabang diantara cabang-cabang keimanan.

Misalnya, malu karena jahil terhadap agamanya, akhirnya dia belajar. Malu menjadi seorang laki-laki yang shalatnya hanya di rumah terus seperti wanita, akhirnya dia menjalankan perintah. Malu kepada Allah karena sudah diberi nikmat tetapi nikmat tersebut digunakan untuk kemaksiatan. Malu kepada Allah yang telah meluaskan rezeki (misalnya), tapi tidak semakin baik amalannya, tidak semakin baik ketaatannya. Maka dia malu sehingga menjadikannya makin kuat menjalankan perintah dan makin getol menjauhi larangan Allah.

Inilah malu yang merupakan cabang keimanan, malu yang terpuji, malu yang baik adalah yang demikian.

Adapun malu yang sebaliknya, justru menjadikan seseorang meninggalkan perintah Allah seperti misalnya: Ana malu untuk berjilbab nanti dikatakan sok suci. Ana malu kalau ke masjid nanti dikatakan sok shalih. Ana malu kalau menghadiri majelis ilmu. Ana malu kalau di dalam bus baca Al-Qur’an. Ana malu kalau di dalam bus membaca kitab agama.

Maka ini adalah rasa malu yang tercela dan bukan merupakan cabang dari keimanan. Rasa malu yang merupakan cabang keimanan adalah rasa malu yang hasilnya menjadikan dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

Beliau ingin menjelaskan bahwasanya iman dengan makna umum adalah demikian. Berarti iman mencakup amalan dhohir maupun amalan bathin. Coba antum lihat yang ada di dalam hadits,

بضع وسبعون شعبة

Adakah di sini amalan yang dhohir?
Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.
Apalagi yang dhohir?
إماطة الأذى عن الطريق
Ini adalah amalan yang dhohir.

Adakah amalan yang bathin?
الحياء شعبة من الإيمان
Ini adalah amalan bathin.

Maka ini adalah Iman secara umum mencakup amalan yang dhohir maupun yang bathin.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url