Halaqah 48: Penjelasan Beberapa Ayat yang Menunjukkan Sifat Marah Bagi Allah (QS At Taubah 46 dan QS Shaff 3)

Halaqah yang ke-48 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Insya Allah kita lanjutkan dan masuk pada dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat Al-Ghodhob (sifat marah)

وَقَوْلُهُ: وَلَـكِن كَرِهَ اللَّهُ انبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ

Dan akan tetapi Allah subhanahu wata'ala membenci berangkatnya mereka sehingga Allah subhanahu wata'ala akhirnya menahan mereka. Ini Allah subhanahu wata'ala berbicara tentang orang-orang munafiqin yang mereka malas untuk berjihad bersama orang-orang yang beriman, berat untuk berjihad, berat untuk mengorbankan apa yang dia miliki dalam rangka berjihad fisabilillah. Allah subhanahu wata'ala mengatakan akan tetapi Allah subhanahu wata'ala benci datangnya mereka dan ikutnya mereka dalam peperangan, Allah subhanahu wata'ala tidak senang kalau ada orang-orang munafik yang ikut berperang bersama hamba-hambanya yang sholeh, hamba-hamba yang beriman. Allah subhanahu wata'ala memerintahkan berjihad fisabilillah tapi Allah subhanahu wata'ala juga memiliki sifat benci datangnya orang-orang munafik di dalam dan ikut serta dalam jihadnya orang-orang yang beriman.

وَلَـكِن كَرِهَ اللَّهُ انبِعَاثَهُم

Sehingga Allah فَثَبَّطَهُمْ, maka Allah subhanahu wata'ala menahan mereka, tsabbatha artinya adalah mana’ (habis) yaitu mencegah mereka, menahan mereka sehingga dijadikan oleh Allah subhanahu wata'ala mereka malas dan berat untuk mengikuti jihad, siapa yang menjadikan itu, Allah subhanahu wata'ala. Berarti di sini kita menetapkan sifat Kurh, sifat membenci, kemudian juga kita menetapkan sifat Tatsbith, yaitu menahan.

Dan diantara yang bisa kita ambil pelajaran di sini, hendaklah seorang muslim waspada ketika dia mulai malas, ketika mulai dia berat untuk melakukan amal sholeh dikhawatirkan ini adalah bentuk hudzlan, Allah subhanahu wata'ala mulai meninggalkan dia, فَثَبَّطَهُمْ, Allah subhanahu wata'ala menahan dia sehingga tidak beramal, berat bagi dia untuk mengamalkan amal shaleh, dikawatirkan ini adalah termasuk bentuk hudzlan Allah subhanahu wata'ala terhadap seseorang, Allah subhanahu wata'ala meninggalkan dia sehingga dijadikan dia berat untuk melakukan amal sholeh, berat untuk muroja’ah, berat untuk melakukan shalat malam, berat untuk menuntut ilmu.

Maka hati-hati seseorang karena ini semua sebabnya adalah karena dosa-dosa kita, karena dosa-dosa yang kita lakukan (maksiat) ini jelas berpengaruh terhadap istiqomahnya seseorang, sehingga jadilah dia orang yang malas dalam melakukan amal shaleh tetapi ketika berbuat maksiat dia semangat untuk melakukan kemaksiatan.

وَقَوْلُهُ

Dan juga Firman Allah subhanahu wata'ala

كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُون

Dan sungguh besar kemarahan di sisi Allah subhanahu wata'ala kalian mengucapkan apa yang tidak kalian kerjakan.

Contoh seperti mengingkari janji, dia mengucapkan sesuatu tapi tidak dikerjakan, dia mengingkari janjinya maka kemarahan disisi Allah subhanahu wata'ala yang sangat ketika kalian mengucapkan apa yang tidak kalian lakukan. Sehingga seorang muslim ketika mengetahui bahwasanya Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat marah maka seorang hamba yang hakiki (yang sebenarnya) ketika dia mengetahui bahwasanya Allah subhanahu wata'ala yang dia sembah memiliki sifat marah dia akan berusaha untuk menghindari perkara-perkara yang membuat marah Allah subhanahu wata'ala, dia akan cari perkara-perkara apa yang membuat marah Allah subhanahu wata'ala sehingga dia bisa menghindari, ini seorang hamba Allah subhanahu wata'ala yang hakiki demikian, minimal dia benci terhadap apa yang membuat marah Allah subhanahu wata'ala dia berusaha bagaimana dia meninggalkan perkara yang membuat marah Allah subhanahu wata'ala, ketika dia melihat orang lain dan dia juga makhluk Allah subhanahu wata'ala dia melakukan sesuatu yang membuat marah Allah subhanahu wata'ala maka dia pun bersedih.

Dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita benar-benar, misalnya kita punya majikan atau atasan misalnya, kita sudah berusaha untuk menghindar dari perkara-perkara yang membuat marah majikan kita, kita sudah tahu sudah bertahun-tahun bermuamalah dengan beliau, dan kita tahu ini yang membuat beliau tidak senang dan seterusnya, ketika melihat rekan kita melakukan perkara yang membuat murka atasan kita, kita tidak senang, kita ingatkan dia, fulan jangan engkau melakukan yang demikian nanti bapak marah, nanti bapak akan demikian dan demikian, itu dalam kehidupan kita sehari-hari.

Maka seorang hamba Allah subhanahu wata'ala yang sebenarnya minimal dia akan benci segala sesuatu yang membuat murka Allah subhanahu wata'ala, dan benci juga orang lain melakukan perkara-perkara yang membuat murka Allah subhanahu wata'ala, ini seorang hamba yang sebenarnya dan dia senang apa yang membuat ridho Allah subhanahu wata'ala dan senang juga dan bahagia dan gembira ketika orang lain melakukan perkara yang membuat ridho Allah subhanahu wata'ala. Melihat si fulan Masya Allah dia rajin dalam shalat berjama’ah, rajin dalam menuntut ilmu, atau si Fulan seorang da’i misalnya, temannya seorang dai Masya Allah subhanahu wata'ala dia rajin dalam menyampaikan ta’lim kepada manusia, maka dia kembali kepada dirinya ini termasuk perkara yang membuat ridho Allah subhanahu wata'ala maka dia berusaha untuk mencintai si Fulan karena dia melakukan perkara yang membuat ridho Allah subhanahu wata'ala yang dia sembah, ini seorang hamba yang hakiki mengikuti ridho Allah subhanahu wata'ala dan senang apabila orang lain mengikuti dan melakukan perkara yang membuat ridho Allah subhanahu wata'ala.

Dan sesuatu yang tercela kalau seseorang mengaku dia hamba Allah subhanahu wata'ala tapi dia mencintai sesuatu yang dibenci oleh Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya, atau sebaliknya dia membenci sesuatu yang dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala dan juga Rasul-Nya, ini kebalikan, harusnya dia sebagai seorang hamba mengikuti keridhoan Allah subhanahu wata'ala, senang dengan apa yang membuat ridho Allah subhanahu wata'ala dan benci dengan apa yang mau membuat kebencian Allah subhanahu wata'ala dan kemurkaan Allah subhanahu wata'ala, bukan justru sebaliknya.

Ini di antara pelajaran yang bisa kita ambil, karena Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat marah sesuai dengan keagungan-Nya maka kita sebagai seorang hamba Allah subhanahu wata'ala berusaha untuk menjauhi perkara-perkara yang membuat murka Allah subhanahu wata'ala. Kita ambil pelajaran dari umat-umat terdahulu apa yang menjadikan mereka dimurkai, contoh di sini tadi orang yang membunuh tanpa hak ini membuat murka Allah subhanahu wata'ala, kemudian apa yang dilakukan oleh orang-orang munafiqin berupa kenifaqan membuat murka Allah subhanahu wata'ala, kemudian juga seseorang mengingkari janjinya ini membuat murka Allah subhanahu wata'ala, dan apa yang dilakukan oleh Firaun dan juga bala tentaranya ini membuat murka Allah subhanahu wata'ala karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah subhanahu wata'ala mendustakan Nabi-Nya, dan perkara-perkara yang lain ini termasuk pengamalan terhadap sifat Al-Ghodhob yang kita pelajari ini.

Jadi seorang muslim bukan hanya sekedar dia membaca ayat-ayat tentang Ghodhob, Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat Ghodhob, kemudian berlalu begitu saja, tapi orang belajar ingin mengamalkan, kalau Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat ini berarti Ana harus menjauhi perkara yang membuat murka Allah subhanahu wata'ala, apa yang membuat murka Allah subhanahu wata'ala ada dalil-dalilnya dan disebutkan diantaranya adalah dalam kitab ini, dan secara umum maksiat dengan berbagai jenisnya ini membuat murka Allah subhanahu wata'ala atau membuat kemarahan Allah subhanahu wata'ala, apalagi dosa kufur, syirik, nifaq, bid’ah maka seorang muslim menghindari perkara-perkara yang membuat murka Allah subhanahu wata'ala.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url