Halaqah 74: Dalil yang Menunjukkan Sifat Istiwa Allah Subhanahu wata'ala (Bagian 2)

Halaqah yang ke-74 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Masuk insya Allah pada pembahasan sifat Istiwa bagi Allah subhanahu wata'ala.

Allah subhanahu wata'ala mensifati Arsy dengan Al-Karim yang artinya adalah yang mulia, Allah subhanahu wata'ala mengatakan

فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡكَرِيمِ

[Al-Mu’minun : 116)

Berarti Arsy ini disifati dengan Al-Karamah yaitu yang mulia sehingga dia adalah makhluk Allah subhanahu wata'ala yang paling besar, dan dia adalah makhluk Allah subhanahu wata'ala yang paling tinggi disebutkan dalam hadits dia adalah atap bagi jannatul firdaus, dia adalah makhluk yang paling besar dan dia adalah makhluk yang paling tinggi dan dia adalah makhluk yang paling pertama dan ini adalah pendapat yang lebih rajih diantara dua pendapat para ulama karena permasalahan ini para ulama telah berselisih pendapat di dalamnya.

Ada diantara mereka yang mengatakan makhluk yang pertama adalah arsy dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan pendapat yang kedua bahwasanya makhluk yang pertama adalah Al-Qolam yaitu pena dan hadits yang menunjukkan bahwasanya arsy ini adalah makhluk Allah subhanahu wata'ala yang pertama ketika Allah subhanahu wata'ala menyebutkan tentang penulisan pena terhadap seluruh takdir, كما قال shallallahu 'alaihi wasallam

وَكَانَ عَرۡشُهُۥ عَلَى ٱلۡمَآءِ

Saat itu Arsy-Nya Allah subhanahu wata'ala berada di atas air.

Artinya ketika penulisan Al-Qalam Arsy sudah ada dan sudah diciptakan oleh Allah subhanahu wata'ala menunjukkan bahwasanya arsy ini lebih dahulu daripada Al-Qolam, demikian pula di dalam hadits ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan

إن أول ما خلق الله القلمَ

Ketika pertama kali Allah subhanahu wata'ala menciptakan Al-Qolam, jadi bukan di baca Al-Qolamu yang artinya adalah sesungguhnya yang pertama kali Allah subhanahu wata'ala ciptakan adalah Al-Qolamu, ini menurut pendapat yang mengatakan Al-Qolam itu yang pertama, tapi Allahu A’lam pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama tadi yang mengatakan bahwasanya Arsy itu lebih dahulu daripada Al-Qolam jadi dia adalah makhluk yang pertama makhluk yang paling besar dan makhluk yang paling tinggi.

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Tentang ayat ini ada kisah yaitu Al-Imamu Malik Rahimahullah ketika beliau ditanya oleh seseorang, datang kepada Al-Imam Malik membacakan ayat ini kemudian laki-laki ini mengatakan كيف اسْتوى bagaimana Allah subhanahu wata'ala beristiwa? Maka disitu berubah wajah Imam Malik, beliau diam sejenak mendengarkan ucapan yang besar yang diucapkan oleh laki-laki ini kemudian setelah itu beliau mengatakan

الاستواء معلوم

Istiwa maknanya adalah ma’lum, maknanya di dalam bahasa Arab diketahui bukan sesuatu yang samar yaitu ‘ala wartafa’a washa’ada wastaqarr, kemudian beliau mengatakan

وَالْكَيْفُ مَجْهُوْل

Dan kaifiyahnya (bagaimananya) dia adalah sesuatu yang majhul (tidak diketahui), tidak ada yang mengetahui bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengetahui, tidak diberitahukan oleh Allah subhanahu wata'ala bagaimana Allah subhanahu wata'ala beristiwa cuma Allah subhanahu wata'ala mengabarkan لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata'ala.

Sehingga jangan ada kehendak dan juga keinginan untuk mengetahui bagaimana Allah subhanahu wata'ala beristiwa yang jelas tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata'ala, maka kita katakan وَالْكَيْفُ مَجْهُوْل dan caranya bagaimananya maka itu adalah sesuatu yang tidak diketahui, tetapi kita yakin Allah subhanahu wata'ala beristiwa dan istiwa tersebut memiliki kaifiyah (cara) tapi kita tidak mengetahui, itu adalah istiwa yang sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata'ala

وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ

Dan beriman dengan istiwa adalah sebuah kewajiban, wajib bagi kita untuk mengatakan dan meyakini bahwasanya Allah subhanahu wata'ala beristiwa, wajib artinya kalau kita tidak meyakini dosa, mengingkari (menta’til) Allah subhanahu wata'ala beristiwa atau seseorang mentakwil mengatakan bahwasanya yang dimaksud dengan istiwa adalah istila atau yang dimaksud dengan istiwa adalah al-qasdu yaitu menuju maka ini juga tidak di perbolehkan atau mengatakan bahwasanya istiwa maknanya yang mengetahui hanya Allah subhanahu wata'ala saja, maka ini semua adalah penyimpangan-penyimpangan, beriman bahwasanya Allah subhanahu wata'ala beristiwa itu adalah sebuah kewajiban dan maknanya adalah suatu yang maklum

وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Dan bertanya tentang bagaimana istiwa ini adalah sebuah bid’ah, beliau mengisyaratkan tentang ucapan dan pertanyaan yang diucapkan oleh laki-laki ini ketika dia mengatakan كيف استوى bagaimana Allah subhanahu wata'ala beristiwa maka ini adalah sebuah bid’ah di dalam agama, tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Radiallahu Ta’ala ‘Anhum, tidak ada di antara mereka yang bertanya tentang kaifiyah (bagaimana) istiwa Allah subhanahu wata'ala, bagaimana turunnya Allah subhanahu wata'ala bagaimana kebersamaan Allah subhanahu wata'ala tidak ada diantara mereka yang mengatakan demikian karena mereka tahu bahwasanya Allah subhanahu wata'ala

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

Tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata'ala

وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ

Tidak ada yang sebanding dengan Allah subhanahu wata'ala

هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِيّٗا

Tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata'ala, tahukah kamu sesuatu yang serupa dengan Allah subhanahu wata'ala, sehingga tidak ada diantara sahabat yang mengatakan كيف استوى bagaimana Allah subhanahu wata'ala beristiwa.

Ini adalah ayat yang pertama yang menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala beristiwa, dan ucapan Imam Malik tadi menjadi kaidah yang besar di antara kaidah-kaidah yang dimiliki oleh Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam masalah nama dan juga sifat Allah subhanahu wata'ala sehingga kita bisa praktekan ini di dalam sifat-sifat yang lain, kalau tadi الاستواء معلوم dalam masalah nuzul juga demikian

النزل معلوم وَالْكَيْفُ مَجْهُوْل وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Terus misalnya sifatu عين

العين معلوم وَالْكَيْفُ مَجْهُوْل وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

dan seterusnya ini bisa kita bisa praktekan di dalam sifat-sifat yang lain.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url