Halaqah 80: Dalil yang Menunjukkan Sifat Kalam Bagi Allah

Halaqah yang ke-80 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Masuk kita pada pembahasan yaitu tentang sifat kalam bagi Allah subhanahu wata'ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan banyak ayat yang berkaitan atau yang menetapkan tentang sifat kalam bagi Allah subhanahu wata'ala, dan penetapan sifat kalam bagi Allah subhanahu wata'ala yang telah terjadi perdebatan yang panjang antara Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan berbagai firaq berbagai aliran dari kalangan al-mu’tazilah al-asya’irah al-jahmiyah dan lain-lain sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di sini beliau membawakan banyak dalil yang menjelaskan dan menguatkan apa yang diyakini oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah tentang masalah kallamullah.

Sifat kalam bagi Allah subhanahu wata'ala ini adalah termasuk sifat Dzatiyyah sekaligus fi’liyyah, dia adalah sifat Dzatiyyah karena ini adalah sifat yang sejak dahulu Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat kalam ini, kemudian yang kedua dia adalah sifat fi’liyyah karena Allah subhanahu wata'ala berbicara kapan Dia kehendaki dengan apa Dia kehendaki dan bagaimana Dia kehendaki. Kapan Dia kehendaki Allah subhanahu wata'ala berbicara misalnya ketika sepertiga malam yang terakhir, maka Allah subhanahu wata'ala berbicara dan mengatakan

مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ وَمَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ

Dan Allah subhanahu wata'ala berbicara dengan apa Dia kehendaki maksudnya adalah berbicara dengan tema yang Dia kehendaki, dengan isi yang Dia kehendaki, isinya Allah subhanahu wata'ala berbicara dengan tema dan dengan isi yang Dia kehendaki. Dan bagaimana Allah subhanahu wata'ala berbicara, bagaimananya maka ini juga dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala Allah subhanahu wata'ala berbicara dengan suara keras (an-nida), atau Allah subhanahu wata'ala berbicara dengan suara yang pelan maka ini sesuai dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala. Jadi Allah subhanahu wata'ala berbicara kapan Dia kehendaki, dengan apa Dia kehendaki, dan bagaimana Dia kehendaki.

Dan kalam Allah subhanahu wata'ala adalah dengan huruf dan juga dengan suara dan kalam Allah subhanahu wata'ala tidak sama dengan kalam makhluq, sifat bicara yang Allah subhanahu wata'ala miliki tidak sama dengan sifat bicara yang dimiliki oleh makhluk sehingga kita menetapkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala berbicara dan kita yakini bahwasanya bicaranya Allah subhanahu wata'ala adalah sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan bicaranya makhluk, ini adalah keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah di dalam masalah Al-Kalam, Allah subhanahu wata'ala berbicara.

Dan telah menyelisihi Ahlussunnah Wal Jama’ah didalam masalah kalam beberapa aliran diantaranya adalah al-mu’tazilah yang mereka mengatakan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala tidak memiliki sifat kalam atau al-asya’irah yang mengatakan bahwasanya mereka menetapkan sifat kalam bagi Allah subhanahu wata'ala namun mereka mengatakan bahwasanya sifat kalam bagi Allah subhanahu wata'ala adalah makna yang ada di dalam diri Allah subhanahu wata'ala, inilah keyakinan al-asya’irah sehingga mereka meyakini bahwasanya sifat kalam ini adalah sifat Dzatiyah saja, bukan sifat fi’liyyah dimana Allah subhanahu wata'ala berbicara kepada siapa yang Dia kehendaki, kapan Dia kehendaki dan bagaimana caranya. Adapun Ahlussunnah Wal Jama’ah maka mereka mengatakan bahwasanya Kallamullah ini adalah dengan huruf dan juga dengan suara, dan suara Kallamullah tidak sama dengan suara ucapan manusia.

Beliau mendatangkan beberapa ayat, yang pertama

وَقَوْلُهُ

Dan Firman Allah subhanahu wata'ala

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

Dan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah subhanahu wata'ala.

وَمَنْ disini adalah istifham, dan siapakah yang أَصْدَقُ yang lebih benar مِنَ اللَّهِ daripada Allah حَدِيثًا ucapan, menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat Al-Hadits dan makna Al-Hadits adalah Al-Kalam, seseorang mengatakan hadza kalamuka, ini adalah ucapanmu, dan menunjukkan bahwasanya ucapan Allah subhanahu wata'ala adalah ucapan yang أَصْدَق yaitu ucapan yang paling benar, yang paling sesuai dengan kenyataan, di sana banyak ucapan makhluk cuma ucapan mereka terkadang disadari atau tidak disadari tidak sesuai dengan kenyataan, adapun ucapan Allah subhanahu wata'ala maka dia adalah ucapan yang paling أَصْدَق yaitu yang paling benar, yang paling jujur, yang paling sesuai dengan kenyataan, tidak ada yang meleset sedikitpun.

Dan isim istifham di sini maknanya adalah menunjukkan penafian yaitu tidak ada yang lebih benar ucapannya daripada ucapan Allah subhanahu wata'ala, tidak ada kalam yang lebih benar kalamnya daripada kalam Allah subhanahu wata'ala, dan istifham dengan makna nafi ini lebih dalam maknanya daripada hanya sekedar menafikan saja, karena di sini ada tantangan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada ucapan Allah subhanahu wata'ala, kalau ucapan Allah subhanahu wata'ala adalah ucapan yang paling benar maka bagaimana seseorang mendustakan Firman Allah subhanahu wata'ala, mendustakan Firman Allah subhanahu wata'ala termasuk kekufuran, diantara konsekuensinya setiap yang datang dari Allah subhanahu wata'ala maka harus kita benarkan, baik berupa kabar apa yang terjadi di masa lalu, berupa kisah-kisah para nabi dan juga para rasul dan umat-umat terdahulu, apa yang Allah subhanahu wata'ala ceritakan di dalam Al-Qur’an maka itu adalah sidq, itu adalah benar adanya, tidak ada yang dusta dalam Firman Allah subhanahu wata'ala.

Dan apa yang Allah subhanahu wata'ala kabarkan di masa yang akan datang berupa kejadian-kejadian, ciri-ciri atau tanda-tanda dekatnya hari kiamat atau kejadian setelah ditiupnya sangkakala yang pertama dan juga kedua maka ini adalah benar adanya, harus kita benarkan, tidak ada kedustaan sedikitpun di dalam Firman Allah subhanahu wata'ala, termasuk diantaranya adalah tentang sifat-sifat Allah subhanahu wata'ala dan juga nama-nama-Nya, kalau Allah subhanahu wata'ala mengatakan

ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَان
تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا

maka harus kita benarkan apa yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wata'ala karena itu tidak ada kedustaan sedikitpun. Allah subhanahu wata'ala mengabarkan Dia beristiwa maka kita benarkan Allah subhanahu wata'ala beristiwa sesuai dengan keagungan-Nya, Allah subhanahu wata'ala mengabarkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala memiliki dua tangan maka kita benarkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala memiliki dua tangan sesuai dengan keagungan-Nya, dan Allah subhanahu wata'ala mengabarkan bahwasanya Dia memiliki mata maka kita benarkan sifat tersebut sesuai dengan keagungan-Nya.

Ini semua adalah konsekuensi dari keyakinan kita bahwasanya ucapan Allah subhanahu wata'ala adalah ucapan yang paling benar, dan sudah berlalu diawal pembahasan kitab ini terkumpul dalam Firman Allah subhanahu wata'ala bahwasanya ucapan Allah subhanahu wata'ala adalah ucapan yang paling benar dan ucapan tersebut keluar dari Al-‘Alim Yang Maha Mengetahui, kemudian ucapan Allah subhanahu wata'ala adalah ucapan yang Ahsan yang paling fasih.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url