Halaqah 103: Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Penjelasan Nama dan Sifat Ketinggian Bagi Allah – Hadits Keempat, Kelima, dan Keenam

Halaqah yang ke-103 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Masuk kita pada pembahasan sifat-sifat yang telah tetap di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang sifat Al-’Uluw (sifat tinggi) bagi Allah subhanahu wata'ala. Beliau menyebutkan di sini

وَقَوْله لُلْجَارِيَةِ

dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang budak wanita

أَيْنَ اللهُ؟

Dimanakah Allah subhanahu wata'ala

قَالَتْ: فِي السَّمَاء

dia mengatakan Allah subhanahu wata'ala berada di atas

قَالَ: مَنْ أَنَا؟

Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan kepadanya Siapakah saya?

قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ

dia mengatakan engkau adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan Lepaskanlah dia / bebaskanlah dia karena dia adalah seorang yang beriman

رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Hadits ini juga ada kisahnya, dari Mu’awiyah Ibn Hakam As-Sulami seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yang bernama Mu’awiyah diantara sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih dari satu orang, ada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan dan Mu’awiyah Ibn Hakam As-Sulami, beliau mengatakan

وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ

Aku memiliki seorang budak wanita yang menggembala kambing di arah Uhud (sebelah utara kota Madinah) dan juga Al-Jawaniyah

فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا

maka aku melihat suatu hari ada seekor serigala yang membawa seekor kambing dari kambing yang digembala oleh budak tadi

وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ

dan aku adalah seorang anak manusia

آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ

aku marah sebagaimana yang lain juga marah

لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً

bukan hanya sekedar marah tapi aku menamparnya dengan keras, صَكَّةً maksudnya adalah menamparnya dengan keras atau menamparnya sekali

فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ

Kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan membesarkan perkara ini atasku, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setelah dikabarkan maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menganggap ini adalah perkara yang besar, sampai menampar seorang budak wanita dan ini adalah sebuah kedzhaliman

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟

maka aku berkata wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apakah aku membebaskannya?, dia menyesal dengan apa yang dia lakukan dan ini menunjukkan bagaimana para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mereka juga bersalah sebagaimana manusia yang lain juga bersalah, kita meyakini tentang keutamaan mereka cuma kita tidak meyakini bahwasanya mereka ma’sum tapi lihat bagaimana dia langsung bertobat kepada Allah subhanahu wata'ala menyesal dan bertaubat, dia mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan menyesal dan menceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apa yang terjadi kemudian karena sangat menyesalnya dia akhirnya dia ingin membebaskan budak tadi, dan ini merupakan perkara yang besar karena budak ini harta dia bisa dijual mahal, ketika seseorang membebaskan berarti dia menginfakkan sebagian hartanya melepaskan sebagian hartanya

قَالَ: ائْتِنِي بِهَا

maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan datangkan dia disini, ingin dites oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apakah dia adalah orang yang beriman sehingga bisa di bebaskan karena yang dibebaskan adalah orang yang beriman, sekarang akan dites oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pantas tidak dan boleh tidak wanita tadi budak tadi untuk dibebaskan

فَأَتَيْتُهُ بِهَا

maka aku pun mendatangkan budak wanita tadi

فَقَالَ لَهَا

mulailah disini dites oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam ingin tahu apakah dia orang yang beriman atau bukan maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya

أَيْنَ اللهُ؟

Dimanakah Allah subhanahu wata'ala?, dan ini menunjukkan boleh seseorang bertanya dimanakah Allah subhanahu wata'ala karena sebagian ahlul bida’ ada yang mengharamkan dan tidak membolehkan untuk bertanya dimana Allah subhanahu wata'ala, mana yang kita ikuti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang berkata kepada budak wanita Dimana Allah subhanahu wata'ala atau mereka yang mengharamkan?

قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ

maka budak wanita ini mengatakan di atas atau itu diatas langit, ini pertanyaan yang pertama, setelah menjawab dengan pertanyaan yang pertama dan mengetahui bahwasanya berarti wanita ini ketika dia mengatakan فِي السَّمَاء berarti dia meyakini tentang keberadaan Allah subhanahu wata'ala dan dia meyakini bahwasanya Allah subhanahu wata'ala berada di atas, dari sini diketahui tentang apakah dia ini beriman atau tidak, berarti dia orang yang percaya tentang adanya Allah subhanahu wata'ala dan dia meyakini Allah subhanahu wata'ala berada di atas.

Kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mendatangkan pertanyaan yang kedua

قَالَ: مَنْ أَنَا؟

Siapakah aku?, kalau yang pertama tadi tentang syahadat yang pertama أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya siapakah aku karena ini tidak kalah penting dengan yang pertama

قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ

maka wanita ini ternyata dia mengetahui meskipun dia adalah seorang budak yang mengembala kambing tadi tapi dia tahu bahwasanya ini adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan dia mengatakan engkau adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu engkau adalah seorang yang diutus oleh Allah subhanahu wata'ala yang ada di langit, engkau diutus oleh Allah subhanahu wata'ala yang berada diatas, dia beriman kepada Allah subhanahu wata'ala yang berada di atas dan Dia-lah yang telah mengutus dirimu dan engkau adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, berarti di sini isyarat pada syahadat yang kedua yaitu وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, syahadat yang pertama dalam ucapan dia

فِي السَّمَاء

dan syahadat yang kedua dia mengatakan

أَنْتَ رَسُولُ الله

maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan

قَالَ: أَعْتِقْهَا

bebaskan dia (sudah terpenuhi syaratnya)

فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

karena dia adalah seorang yang beriman

Lepaskan dia kalau kamu memang niat untuk melepaskan dia sebagai pengganti atas kesalahan dia, karena dia sudah menampar wajah budak ini dan dia ingin mengganti hal tersebut dan ingin terlepas dari dosa kedzhaliman dia ingin membebaskan maka silahkan kau bebaskan budak ini karena dia adalah seorang yang beriman.

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menilai bahwasanya wanita ini adalah wanita yang beriman dari jawabannya pertama dia meyakini bahwasanya Allah subhanahu wata'ala berada di atas dan yang kedua meyakini bahwasanya Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah Rasulullah, berarti meyakini bahwa Allah subhanahu wata'ala berada di atas adalah sebuah keimanan dan seharusnya demikian orang yang beriman berkeyakinan, berdasarkan dalil yang banyak dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan hadits ini shahih keluarkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya

Kemudian setelahnya beliau mengatakan

وَقَوْله: ((أَفْضَلُ الإِيمَانِ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ اللهَ مَعَكَ حَيْثُمَا كُنْتَ)). حَدِيثٌ حَسَنٌ

dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Sebaik-baik iman adalah engkau mengetahui/menyadari bahwasanya Allah subhanahu wata'ala bersamamu dimanapun engkau berada.

Berarti senantiasa dia muraqabah Allah subhanahu wata'ala senantiasa muraqabatullah merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata'ala, dan kita tahu bahwasanya derajat ini dinamakan derajat ihsan dan dia adalah tingkatan yang paling tinggi, sehingga Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan sebaik-baik iman. Dan ini menunjukkan bahwasanya iman ini bisa bertambah dan bisa berkurang dan bahwasanya orang-orang yang beriman mereka berbeda-beda, kalau iman bisa bertambah dan berkurang berarti orang-orang yang beriman mereka bertingkat-tingkat, ada yang imannya kuat dan ada yang imannya lemah, dan ini adalah bantahan bagi yang mengatakan bahwa iman tidak berkurang dan tidak bertambah dan la yatajazza.

أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ اللهَ مَعَكَ

Engkau mengetahui bahwasanya Allah subhanahu wata'ala bersamamu, dan ma’iyyah disini adalah ma’iyyah yang umum yang disebutkan dalam Firman Allah subhanahu wata'ala

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

dan Firman Allah subhanahu wata'ala

إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا

ma’iyyah disini adalah ma’iyyah yang umum yaitu ma’iyyatul ‘ilm, Allah subhanahu wata'ala bersama kita yaitu dengan ilmu-Nya bukan berarti Allah subhanahu wata'ala berada dimana-mana, dan ayat tersebut kalau kita perhatikan isinya adalah tentang al-‘ilm tentang ilmu Allah subhanahu wata'ala Yang Maha Luas

حَيْثُمَا كُنْتَ

dimanapun engkau berada, baik kita sendirian di kamar ataupun kita bersama orang lain di waktu siang maupun di waktu malam maka ini adalah menunjukkan tentang iman yang tinggi ketika seseorang merasa Allah subhanahu wata'ala bersamanya dimanapun dia berada, sehingga menjadikan dia dalam keadaan merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata'ala, tidak melakukan kemaksiatan meskipun dalam keadaan sendiri dan tidak meninggalkan kewajiban meskipun tidak di lihat oleh orang lain karena dia merasa di awasi oleh Allah subhanahu wata'ala, kalau sudah sampai derajat demikian maka ini adalah afdhalul iman.

Hadits ini dihasankan oleh Syaikhul Islam namun sebagian ulama seperti Syaikh Al-Albani rahimahullah beliau mendhaifkan, hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir dan didhaifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan Syaikh Ushaimi hafidzhahullah mengatakan isnadnya adalah isnad yang dhaif. Seandainya dia adalah hadits yang dhaif maka tidak memudharati karena masalah sifat ma’iyyah bagi Allah subhanahu wata'ala telah datang di dalam ayat yang tadi kita sebutkan.

Kemudian setelahnya beliau mengatakan

وَقَوْله: ((إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلاةِ؛ فَإِنَّ اللهَ قِبَلَ وَجْهِهِ

Dan juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila salah seorang diantara kalian menuju shalat maka sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala berada di arah depannya

فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ

maka janganlah dia meludah di arah depannya, maka ini menunjukkan larangan bahwasanya di dalam shalat kita dilarang untuk meludah ke arah depan, tidak boleh ke arah depan karena Allah subhanahu wata'ala berada di arah depan, dan ini tidak menafikan bahwa Allah subhanahu wata'ala di atas ‘arsy karena Allah subhanahu wata'ala meliputi segala sesuatu

وَلاَ عَنْ يَمِينِهِ

dan tidak boleh meludah kearah kanan, karena kanan ini adalah tempat yang mulia, Allah subhanahu wata'ala memuliakan kanan maka jangan kita meludah ke arah kanan

وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ، أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ

akan tetapi boleh ke arah kiri atau ke bawah (ke arah kakinya), kalau memang terpaksa seseorang meludah.

Dan ini menunjukkan tentang adab dalam shalat tidak boleh seseorang meludah ke arah depan atau ke kanan dan kalau memang terpaksa meludah dia ke arah kiri atau ke arah bawah, seperti orang yang terganggu dalam shalatnya tidak khusyuk dalam shalatnya seperti ada yang mengganggu dalam shalatnya maka disarankan dia untuk yang berlindung kepada Allah subhanahu wata'ala dari godaan syaithan kemudian meludah kekiri tiga kali. Dan ini menunjukkan bahwasanya gerakan yang ringan dalam shalat diperbolehkan.

Hadits ini muttafaqun alaihi diriwayatkan oleh Bukhari dan juga Muslim.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url