Halaqah 20: Nama-Nama Allah Subhanahu wata'ala yang Nafiyyah Dan Mutsbittah & Sifat-Sifat Allah Subhanahu wata'ala yang Manfiyyah dan Mutsbattah yang Ada Dalam Ayat Qursiy (Bagian 2)

Halaqah yang ke-20 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Kita masuk pada ayat Al-Kursiy, Allah subhanahu wata’ala mengatakan

لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْض

Bagi Allah subhanahu wata’ala apa yang ada di langit maupun apa yang ada di bumi. Lam di sini menunjukkan kepemilikan, bagi Allah subhanahu wata’ala, milik Allah subhanahu wata’ala apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi seluruhnya. Berarti ini menunjukkan tentang kesempurnaan sifat milik bagi Allah subhanahu wata’ala, sifat kepemilikan bagi Allah subhanahu wata’ala, ini adalah sempurna, seluruhnya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, apa yang ada di atas maupun apa yang ada di bawah semuanya adalah milik Allah subhanahu wata’ala, baik makhluk yang hidup maupun makhluk yang mati. Ini menunjukkan tentang kesempurnaan kepemilikan Allah subhanahu wata’ala

Kemudian juga

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِه

Tidak ada yang memberikan syafa’at di sisi Allah subhanahu wata’ala kecuali dengan izin-Nya, ini menunjukkan tentang kesempurnaan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala dan kepemilikan Allah subhanahu wata’ala. Ketika Allah subhanahu wata’ala menyebutkan bahwasanya seluruh apa yang ada di langit dan apa yang di bumi adalah milik Allah subhanahu wata’ala, termasuk diantaranya adalah syafa’at itu adalah milik Allah subhanahu wata’ala

قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَٰعَةُ جَمِيعًا
[Az-Zumar:43]

Katakanlah milik Allah subhanahu wata’ala semuanya syafa’at. Syafa’at semuanya adalah milik Allah subhanahu wata’ala sehingga tidak ada yang memberikan syafa’at disisi Allah subhanahu wata’ala kecuali setelah diizinkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Ini menguatkan tentang sempurnanya kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sampai dalam masalah syafa’at baik Nabi maupun malaikat ataupun orang yang Shaleh tidak ada yang memberikan syafa’at di sisi Allah subhanahu wata’ala kecuali dengan izin Allah subhanahu wata’ala, berarti ini menguatkan tentang kesempurnaan kekuasaan Allah.

Sifat yang lain

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ

Allah subhanahu wata’ala mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Ini menunjukkan sifat ilmu bagi Allah subhanahu wata’ala dan ilmu Allah subhanahu wata’ala adalah ilmu yang sempurna. Allah subhanahu wata’ala mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang di belakang mereka. Ada yang mengartikan أَيْدِيهِمْ di sini adalah apa yang sudah berlalu/terjadi, وَمَا خَلْفَهُم (di belakang mereka) yang akan terjadi, karena yang sudah terjadi berarti dia di depan, yang akan terjadi maka itu yang di belakang. Ini sebagian ulama ada yang menafsirkan demikian, بَيْنَ أَيْدِيهِمْ adalah yang sudah berlalu yang di belakang mereka adalah yang akan terjadi.

Dan ada yang mengartikan sebaliknya بَيْنَ أَيْدِيهِمْ adalah didepan mereka berarti yang akan terjadi yaitu yang di depan kita, وَمَا خَلْفَهُم yang di belakang mereka berarti yang sudah terjadi. Ini tidak ada pertentangan, Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang mengetahui seluruhnya, yang sudah terjadi maupun apa yang akan terjadi, tafsir yang seperti ini tidak memudhoroti dan tidak ada pertentangan baik antara tafsir yang pertama dengan tafsir yang kedua ini menunjukkan tentang sempurnanya ilmu Allah subhanahu wata’ala.

Kemudian Allah subhanahu wata’ala mengatakan

وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء

Dan mereka, yaitu makhluk-makhluk, tidak bisa meliputi sedikitpun dari ilmu Allah subhanahu wata’ala, yaitu tidak bisa mengetahui apa yang Allah subhanahu wata’ala ketahui, إِلاَّ بِمَا شَاء kecuali dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki. Berarti kita tidak bisa mengetahui apa yang Allah subhanahu wata’ala ketahui kecuali apabila Allah subhanahu wata’ala menghendaki. Menunjukkan tentang lemahnya manusia, dan menunjukkan bahwasanya ilmu yang kita dapatkan itu adalah dengan kehendak Allah, Allah subhanahu wata’ala menghendaki kita tahu sehingga kita menjadi orang yang tahu. Dan ini faedah bagi seorang thalabul ‘ilm, dia tidak mungkin menjadi orang yang ‘alim, menjadi orang yang tahu kecuali apabila Allah subhanahu wata’ala menghendaki, sehingga harusnya dia banyak berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala mengatakan Allahumma ‘allimniy, Rabbi zidniy ‘ilman, ya Allah subhanahu wata’ala tambahkan kepada-ku ilmu. Dia tidak akan menjadi seorang yang ‘alim kecuali apabila Allah subhanahu wata’ala menghendaki.

مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ

Barangsiapa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki kebaikan pada dirinya, Allah subhanahu wata’ala akan menjadikan dia faqih (paham) tentang agamanya. Siapa yang menjadikan kita faqih? Allah subhanahu wata’ala.

Jadi jangan sampai seorang thalabul ‘ilm lalai tidak berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala, sibuk dengan dars, sibuk dengan belajar dan seterusnya tapi dia tidak pernah berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala, tidak pernah meminta kepada Allah subhanahu wata’ala ilmu, atau ditambah ilmunya, dimudahkan untuk memahami pelajarannya.

Apa yang terkandung dalam firman Allah subhanahu wata’ala

وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء

Di sini ada penetapan sifat ‘Ilm yaitu مِّنْ عِلْمِه berarti Allah subhanahu wata’ala memiliki ilmu, kemudian di sini ada penetapan sifat Masyi’ah di ambil dari firman Allah إِلاَّ بِمَا شَاء kecuali dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki. Berarti Allah subhanahu wata’ala memiliki Masyi’ah (kehendak)

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ

Kursiy Allah subhanahu wata’ala ini seluas langit dan juga bumi, atau meliputi langit dan juga bumi. Seluas ini bukan berarti kursiy Allah subhanahu wata’ala sama dengan langit dan bumi, tidak, maksudnya وَسِعَ disini adalah meliputi semua, berarti kursiy lebih besar daripada langit dan juga bumi.

Disebutkan didalam sebuah hadits bahwasanya kalau dibandingkan langit yang tujuh dengan bumi ini dibandingkan dengan kursiy Allah subhanahu wata’ala perbandingannya adalah seperti tujuh gelang atau tujuh cincin yang dilemparkan di tengah padang pasir, yang menunjukkan betapa kecilnya tujuh cincin tadi, hampir tidak terlihat ketika dilemparkan di padang pasir, itu adalah perbandingan antara tujuh langit dan bumi ini dibandingkan dengan kursiy Allah subhanahu wata’ala. Kalau kursiy Allah subhanahu wata’ala saja demikian besarnya lalu bagaimana dengan yang menciptakan.

Dan kursiy (dinamakan dengan ayat kursiy dari kata ini) ini adalah tempat kedua kaki Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana ini dikutip dari Abdullah ibn Abbas bahwasanya kursiy ini adalah tempat kedua kaki Allah subhanahu wata’ala. Adapun yang menafsirkan bahwasanya kursiy ini sama dengan Arsy ini sebuah kekeliruan, bahkan di sana ada hadits yang jelas menunjukkan perbandingan antara arsy dengan kursiy menunjukkan bahwasanya arsy dengan kursiy ini sesuatu yang berbeda, arsy lebih besar daripada kursiy Allah subhanahu wata’ala.

Maka ini menunjukkan tentang kebesaran Allah subhanahu wata’ala, betapa besarnya kursiy Allah subhanahu wata’ala menunjukkan tentang kebesaran Allah subhanahu wata’ala karena yang menciptakan kebesaran Dia lebih berhak bersifat dengan kebesaran tadi, yang menciptakan kebesaran yaitu bisa menciptakan kursiy sebesar itu maka dia lebih berhak memiliki sifat kebesaran. Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang Maha Besar dan juga menunjukkan tentang qudratullah (kekuasaan Allah subhanahu wata’ala) dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang Maha Berkuasa melakukan segala sesuatu.

Kemudian Allah subhanahu wata’ala mengatakan

وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا

Dan tidak memberatkan Allah subhanahu wata’ala untuk menjaga keduanya. Beliau mengatakan setelahnya tidak memberatkan Allah subhanahu wata’ala dalam menjaga keduanya, yaitu menjaga langit dan juga menjaga bumi, meskipun itu adalah makhluk yang besar tapi bukan sesuatu yang berat bagi Allah subhanahu wata’ala untuk menjaga keduanya sehingga bumi terjaga dan langit juga terjaga, tidak menimpa bumi, tidak jatuh sampai dikehendaki oleh Allah subhanahu wata’ala. Berarti yang dinafikan disini adalah sifat masyakka, yaitu sifat berat, ini dinafikan dari diri Allah subhanahu wata’ala dan sesuai dengan kaidah kalau Allah subhanahu wata’ala menafikan dari diri-Nya sifat berat dalam menjaga berarti kita menetapkan kesempurnaan qudratullah, kesempurnaan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala dan menetapkan kesempurnaan kekuatan Allah subhanahu wata’ala.

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Dan Dia-lah yang Maha Tinggi dan juga Maha Besar. Berarti di sini kita menetapkan nama Allah subhanahu wata’ala yang Maha Tinggi, tinggi dalam Dzat-Nya, tinggi dalam kedudukan-Nya, tinggi dalam kekuasaan. Dan sifat yang terkandung dalam nama Al-’Aliy adalah sifat Al-’Ulu (ketinggian). الْعَظِيمُ Yang Maha besar, sifat yang terkandung di dalamnya adalah ‘Adzoma (kebesaran), maka Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang Maha Tinggi dan Dia-lah yang Maha Besar, tidak ada yang lebih tinggi daripada Allah subhanahu wata’ala dan tidak ada yang lebih besar daripada Allah subhanahu wata’ala. Tidak memberatkan Allah subhanahu wata’ala dalam menjaga langit maupun bumi

Bisa kita simpulkan dari Ayat kursiy ini, disebutkan oleh Allah subhanahu wata’ala beberapa nama dan juga beberapa sifat, yang kita urutkan dari depan nama yang terkandung dalam ayat ini; Lafdzul Jalalah, Al-Hayyu, Al-Qayyum, Al-’Ali, Al-’Adzim. Sifat yang terkandung dalam ayat ini; Al-Uluhiyah, Al-Haya, Al-Qayyum. Sifat manfiyyah yaitu sifat sina (sifat ngantuk) dengan sifat tidur. Kesempurnaan kepemilikan Allah subhanahu wata’ala, memiliki sifat idzn (mengizinkan), sifat masyi’ah, sifat ilmu. Jadi semua sifat dzatiyah ada dalam Al-Hayyu dan sifat yang muta’addiyah ini ada dalam nama Allah subhanahu wata’ala Al-Qoyyum.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url