Halaqah 32: Penjelasan Beberapa Ayat yang Mengandung Sifat Al-Masyi’ah dan Al-Iradah Allah (QS Al-Kahfi 39 dan QS Al-Baqarah 253)

Halaqah yang ke-32 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Kita berpindah kepada ayat-ayat yang menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat Al-Masyi’ah dan juga Al-Irodah. Syaikhul Islam beliau mengatakan

وَقَوْلُهُ

Dan juga firman Allah subhanahu wata'ala

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Didalam surah Al-Kahfi ketika ada hiwar/pembicaraan antara orang yang beriman dengan orang yang kafir, satunya beriman kepada Allah subhanahu wata'ala dan hari akhir yang satunya tidak beriman kepada adanya hari akhir dan dia kufur dengan nikmat Allah subhanahu wata'ala, Allah subhanahu wata'ala mengatakan

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Seandainya ketika engkau masuk جَنَّتَكَ yaitu kebunmu, قُلْتَ مَا شَاء engkau mengatakan Masya Allah, ini adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, Masya Allah di sini adalah artinya apa-apa yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata'ala artinya Hadza Masya Allah subhanahu wata'ala ini adalah dengan apa yang Allah subhanahu wata'ala kehendaki. Ketika dia melihat kebunnya yang luar biasa sifatnya, yang sangat menyejukkan mata harusnya dia mengatakan Masya Allah subhanahu wata'ala, ini adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala yang memberikan rezeki, Allah subhanahu wata'ala yang menghidupkan, Allah subhanahu wata'ala yang menyuburkan, Allah subhanahu wata'ala yang menjadikan dia berbuah, harusnya dia mengatakan Masya Allah subhanahu wata'ala ini dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ dan mengatakan tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah subhanahu wata'ala, yaitu Allah subhanahu wata'ala lah yang memberikan kekuatan kepada kita.

Berarti di sini ucapan مَا شَاء اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ isinya adalah mensifati Allah subhanahu wata'ala dengan Masyi’ah, Allah subhanahu wata'ala memiliki Masyi’ah, ini adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, tidak terjadi dengan sendirinya. Ini adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala dan seluruh yang terjadi di permukaan bumi adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala

مَاشَاءَ اللَّهُ كَانَ

Apa yang Allah subhanahu wata'ala kehendaki terjadi, apa yang terjadi di seluruh permukaan bumi baik berupa penciptaan zat maupun penciptaan sifat makhluk-Nya maupun apa yang dilakukan terjadi dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala. Adanya kita adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala dan apa yang kita lakukan adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala bahkan kehendak kita adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala.

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
[QS At-Takwir 29]

Tidaklah kalian menginginkan kecuali Allah subhanahu wata'ala yang menghendaki.

Artinya keinginan kita dan kehendak kita adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, inilah makna kehendak kita itu di bawah kehendak Allah subhanahu wata'ala, masyi’atu makhluq taḥta masyi’atillah

مَاشَاءَ اللَّهُ كَانَ, وَمَالَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

Dan apa yang Allah subhanahu wata'ala tidak kehendaki tidak akan terjadi. Maka ketika kita melihat nikmat yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada kita, kita katakan Masya Allah, ini adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala. Kita sandarkan nikmat yang Allah subhanahu wata'ala berikan ini kepada Allah subhanahu wata'ala, jangan kita sandarkan kepada diri kita sendiri, ini adalah dengan kepandaianku dalam bertani, ini adalah kecerdasanku dalam bisnis, ini adalah pengalamanku dalam bekerja selama dua puluh tahun, ini adalah kepandaianku dalam mengatur manusia sehingga negara atau daerah dalam keadaan demikian aman dan seterusnya, tidak, itu adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala.

لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah subhanahu wata'ala. Kita bisa, kita mampu dan kita memiliki kekuatan adalah dengan pertolongan Allah subhanahu wata'ala, kalimat yang indah yang diucapkan oleh orang yang beriman yang dia mengakui bahwasanya nikmat yang ada pada dirinya itu adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, Alhamdulillah, kalau Allah subhanahu wata'ala tidak memudahkan niscaya dia tidak akan mendapatkan yang demikian.

Seandainya ketika engkau masuk dan melihat kebunmu engkau mengatakan demikian, menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala Dia memiliki sifat Masyi’ah kita, makhluk juga memiliki sifat masyi’ah, apakah ketika kita menetapkan sifat Masyi’ah bagi Allah subhanahu wata'ala berarti kita menyamakan Allah subhanahu wata'ala dengan makhluk, tidak, Masyiatullah sesuai dengan Kesempurnaan-Nya dan masyi’ah kita sesuai dengan kekurangan kita. Kita memiliki masyi’ah (kehendak) apakah setiap kehendak yang kita inginkan kemudian terkabulkan, kita ingin punya mobil tapi apakah keinginan kita terpenuhi, itulah keadaan masyi’ah kita tapi Masyiatullah adalah manusia yang nafilah, Masyi’ah yang pasti terlaksana

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
[QS Ya-Sin 82]

Sesungguhnya perkara Allah subhanahu wata'ala apabila menghendaki sesuatu tinggal mengatakanكُنْ (jadilah) فَيَكُونُ (maka dia akan terjadi). Itulah kehendak, kehendak yang apabila Allah subhanahu wata'ala menghendaki terjadi

مَاشَاءَ اللَّهُ كَانَ, وَمَالَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

Apa yang Allah subhanahu wata'ala kehendaki terjadi dan apa yang Allah subhanahu wata'ala tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Sehingga Al-Imam As-Syafi’i beliau mengatakan

مَا شِئْتَ كَانَ، وإنْ لم أشَأْ – وَمَا شِئْتُ إن لَمْ تَشأْ لَمْ يكنْ

Apa yang Engkau kehendaki ya Allah كَانَ terjadi وإنْ لم أشَأْ meskipun aku tidak menghendaki, dan apa yang aku kehendaki jika Engkau tidak menghendaki ya Allah maka tidak akan terjadi.

Berarti kehendak kita itu di bawah kehendak Allah subhanahu wata'ala

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Dan tidak lah kalian menghendaki kecuali apabila Allah subhanahu wata'ala menghendaki.

Maka tidak ada di sana kelaziman kita menetapkan Masyi’ah bagi Allah subhanahu wata'ala kemudian kita berarti menyerupakan Masyi’ah Allah subhanahu wata'ala dengan masyi’ah makhluk. Di dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wata'ala menetapkan masyi’ah bagi kita, makhluk juga memiliki masyi’ah

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
[QS At-Takwir 28]

Siapa di antara kalian yang ingin istiqomah

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Dan tidak berkehendak kecuali apabila Allah subhanahu wata'ala menghendaki.

Berarti kita juga memiliki kehendak. Kemudian Allah subhanahu wata'ala mengatakan

وَقَوْلُهُ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلَ ٱلَّذِينَ مِنۢ بَعۡدِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ وَلَٰكِنِ ٱخۡتَلَفُواْ فَمِنۡهُم مَّنۡ ءَامَنَ وَمِنۡهُم مَّن كَفَرَۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلُواْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ

Dan juga firman Allah subhanahu wata'ala, kalau Allah subhanahu wata'ala menghendaki niscaya tidak akan berperang orang-orang yang datang setelah mereka setelah jelas bagi mereka bertemu, di sini Allah subhanahu wata'ala menceritakan tentang adanya iqtital (peperangan) antara orang yang beriman dengan para rasul dan orang yang tidak beriman dengan para rasul, kalau Allah subhanahu wata'ala menghendaki niscaya tidak akan berperang tapi terjadi peperangan

وَلَٰكِنِ ٱخۡتَلَفُواْ

Akan tetapi mereka berselisih kemudian akhirnya mereka berperang

فَمِنۡهُم مَّنۡ ءَامَنَ وَمِنۡهُم مَّن كَفَرَۚ

Ada diantara mereka yang beriman dan ada diantara mereka yang kufur. Kalau Allah subhanahu wata'ala menghendaki niscaya mereka tidak berperang

وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلُواْ

Seandainya Allah subhanahu wata'ala menghendaki niscaya mereka tidak akan berperang. Berarti berperangnya mereka dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, kalau Allah subhanahu wata'ala menghendaki mereka tidak berperang maka mereka tidak akan berperang, menunjukkan bahwasanya peperangan yang terjadi perseteruan yang terjadi antara Ahlul Haq dengan Ahlul Bathil ini adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, dan apa yang Allah subhanahu wata'ala kehendaki terjadi. Kita ingin supaya manusia beriman semuanya

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ…
[QS Yunus 99]

Seandainya Allah subhanahu wata'ala menginginkan niscaya akan beriman seluruh orang yang berada di bumi.
Kita juga inginnya demikian, tapi Allah subhanahu wata'ala menghendaki lain, sunnatullah ada diantara mereka yang kufur ada diantara mereka yang beriman

وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلُواْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ

Akan tetapi Allah subhanahu wata'ala melakukan apa yang Dia kehendaki.

Tidak ada yang bisa menghalangi apa yang Allah subhanahu wata'ala kehendaki, Allah subhanahu wata'ala menghendaki ada diantara mereka yang beriman ada diantara mereka yang kufur sementara kita ingin seandainya manusia semuanya beriman, tapi ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ, Allah subhanahu wata'ala melakukan apa yang Dia inginkan.

Sehingga seseorang bersabar sebagai orang yang telah diberikan hidayah oleh Allah subhanahu wata'ala pasti di sana ada suara, disana ada fitnah, di sana ada ancaman, di sana ada gangguan itu semua terjadi dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala, maka kita bersabar dan kalau kita ketahui Allah subhanahu wata'ala dengan kehendak-Mu maka akan ada dalam diri kita ketenangan. Tidaklah mereka menulis tulisan yang jelek, mengucapkan ucapan yang menghujat, mencela kecuali itu dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala untuk menguji kesabaran kita dan menjadikan kita introspeksi diri, mengoreksi diri kita mungkin kita yang kurang hikmah di dalam dakwah, mungkin kita yang kurang ikhlas didalam dakwah, atau untuk mengangkat derajat kita sehingga kita dengan ujian tadi kita bersabar dan diangkat derajat kita.

وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ

Akan tetapi Allah subhanahu wata'ala melakukan apa yang Dia kehendaki. Berbeda dengan kita, banyak kehendak kita dalam hati yang kita inginkan/angan-angankan tapi tidak terwujud, sampai kita meninggal dunia tidak terwujud. Ada yang ingin menjadi seorang kaya, ada seorang ingin menjadi seorang dokter, ingin menjadi seorang presiden, ingin menjadi seorang ulama, apakah keinginan mereka pasti terpenuhi, tidak, tapi Allah subhanahu wata'ala melakukan apa yang Dia kehendaki.

Disini Masyi’ah yang dimaksud disini adalah Iradah Kauniyah, diawal ayat Allah subhanahu wata'ala mengatakan وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ dan kalau Allah subhanahu wata'ala menghendaki, kemudian di akhir Allah subhanahu wata'ala mengatakan وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ akan tetapi Allah subhanahu wata'ala melakukan apa ya Dia kehendaki. Iradah yang terkandung dalam kalimat يُرِيدُ ini adalah iradah kauniyah, ini sinonim dengan Masyi’ah, jadi Masyi’atullah itu sama dengan Iradah Kauniyah.

Para ulama menjelaskan berdasarkan dalil, iradah Allah subhanahu wata'ala itu ada dua macam, iradah yang pertama dinamakan dengan iradah kauniyah atau dengan nama lain Masyi’ahtullah, jadi Allah subhanahu wata'ala memiliki sifat Masyi’ah dan memiliki sifat irodah, iradah kauniyah sama dengan Masyi’atullah. Seluruh apa yang terjadi di permukaan bumi ini, yang baik maupun yang buruk ini semuanya dengan Masyi’atullah dengan irodatullah yang kauniyah, dan inilah yang dimaksud dalam ucapan kita مَاشَاءَ اللَّهُ كَانَ, apa yang Allah subhanahu wata'ala kehendaki terjadi, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan, ini iradah kauniyah.

Dan dia tidak berkaitan dengan kecintaan Allah subhanahu wata'ala artinya Allah subhanahu wata'ala menghendaki terjadi sesuatu tapi Allah subhanahu wata'ala tidak mencintainya, Allah subhanahu wata'ala tidak meridhoinya. Diciptakannya syaithan dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala tapi Allah subhanahu wata'ala tidak mencintai syaithan. Adanya kemaksiatan, kesyirikan, bid’ah dengan kehendak Allah subhanahu wata'ala tapi Allah subhanahu wata'ala tidak mencintai kesyirikan, bid’ah dan juga kemaksiatan. Allah subhanahu wata'ala mentakdirkan dan Allah subhanahu wata'ala menghendaki tapi iradah yang dimaksud disini adalah iradah kauniyah, tidak ada kaitanya dengan mahabbatullah. Dan ayat tentang

وَلَوْلَآ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ
[Al-Kahfi:38]

وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلَ ٱلَّذِينَ مِنۢ بَعۡدِهِم

Ini adalah Masyi’ah dan dia adalah iradah kauniyah.

Disana ada iradah syar’iah, iradah syar’iah ini berkaitan dengan mahabbatullah, kalau iradah kauniyah tadi tidak berkaitan dengan mahabatullah tapi ini iradah berkaitan dengan kecintaan Allah subhanahu wata'ala. Misalnya Allah subhanahu wata'ala ingin orang-orang beriman, ingin manusia yang diutus kepada mereka para rasul ini beriman, Allah subhanahu wata'ala mengutus kepada mereka Rasul, menurunkan kepada mereka kitab dan juga petunjuk, ingin supaya mereka beriman ini iradah syar’iah, iradah yang berkaitan dengan mahabbatullah. Apakah iradah syar’iah pasti terjadi sebagaimana iradah kauniyah? jawabannya tidak, buktinya Allah subhanahu wata'ala menginginkan manusia beriman tapi yang terjadi iradah kauniyah Allah subhanahu wata'ala ada diantara mereka yang beriman ada diantara mereka yang tidak beriman.

Berarti iradah syar’iah tidak mengharuskan terjadinya, jadi kalau kita ditanya perbedaan antara iradah kauniyah dengan iradah syar’iah minimal ada dua, pertama iradah kauniyah pasti terjadi adapun iradah syar’iah maka murodnya, yang diinginkan oleh Allah subhanahu wata'ala belum tentu terjadi, kedua iradah kauniyah terkadang murodnya dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala terkadang tidak dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala tapi iradah yang syar’iah dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala, murodnya sesuatu yang diinginkan itu pasti dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala. Contoh iradah syar’iah Allah subhanahu wata'ala mengatakan

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
[Al-Baqarah:185]

Allah subhanahu wata'ala menginginkan kemudahan untuk kalian. Ini iroda syar’iah

وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ
[An-Nisa’:27]

Dan Allah subhanahu wata'ala ingin untuk memberikan taubat kepada kalian. Ini iradah syar’iah yang berkaitan dengan kecintaan Allah subhanahu wata'ala

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ
[Al-Ahzab:33]

Allah subhanahu wata'ala ingin menghilangkan dari kalian رِجْس, perkara yang jelek amalan-amalan yang jelek, wahai Ahlul Bayt. Iradah disini adalah iradah yang sya’iah yang mungkin terjadi dan mungkin tidak terjadi, harus kita bedakan antara dua iradah ini. Karena tidaklah tersesat orang yang tersesat di dalam masalah takdir kecuali di antaranya adalah karena dia tidak bisa membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar’iah dianggapnya sesuatu yang terjadi pasti dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala, tidak membedakan antara Iradah kauniyah dengan iradah syar’iah.

Sehingga jabriyah ketika berbuat maksiat dikatakan kenapa engkau berbuat maksiat, ini terjadi berarti dia dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala, dia terus berbuat maksiat melakukan kesyirikan melakukan kebid’ahan melakukan dosa besar alasannya karena ini berarti dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala, tidak mengetahui bahwasanya iradah ada dua kauniyah dengan syar’iah.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url