Halaqah 135: Beriman Kepada Takdir dengan Pembahasan Derajat Pertama yakni Ilmu dan Kitabah (Bagian 3)

Halaqah yang ke-135 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Beliau mengatakan rahimahullah

وَهَذَا التَّقْدِيرُ التَّابِعُ لِعِلْمِهِ سُبْحَانَهُ يَكُونُ فِي مَوَاضِعَ جُمْلَةً وَتَفْصِيلاً: فَقَدْ كَتَبَ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ مَا شَاءَ

Dan takdir yang mengikuti ilmu Allah subhanahu wata'ala, yaitu penulisan di dalam lauḥul maḥfūdz itu mengikuti apa yang Allah subhanahu wata'ala ketahui, makanya diurutkan tadi beriman dengan ilmu kemudian beriman dengan penulisan, takdir yang ditulis itu mengikuti apa yang Allah subhanahu wata'ala ketahui, tidak ada pertentangan antara ilmu Allah subhanahu wata'ala dengan apa yang Allah subhanahu wata'ala tulis dalam lauḥul maḥfūdz. Itu berada di beberapa tempat atau beberapa keadaan

جُمْلَةً وَتَفْصِيلاً

baik secara global maupun secara terperinci, berarti disana ada penulisan secara umum semuanya Allah subhanahu wata'ala tulis dan itu berada di dalam lauhul mahfūdz semuanya dan secara terperinci Allah subhanahu wata'ala sebutkan disitu

فَقَدْ كَتَبَ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ مَا شَاءَ

maka Allah subhanahu wata'ala telah menulis di dalam lauhul mahfūdz apa yang dia kehendaki, secara umum dan terperinci Allah subhanahu wata'ala tulis disana

وَإِذَا خَلَقَ جَسَدَ الْجَنِينِ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ؛ بَعَثَ إِلَيْهِ مَلَكًا، فَيُؤْمَرُ بِأْرْبَعِ كَلِمَاتٍ، فَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ: رِزْقَهُ، وَأَجَلَهُ، وَعَمَلَهُ، وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ.. وَنَحْوَ ذَلِكَ

maka apabila Allah subhanahu wata'ala menciptakan jasad janin, sebelum Allah subhanahu wata'ala meniupkan ruh/nyawa didalamnya maka Allah subhanahu wata'ala mengutus seorang malaikat kemudian malaikat tersebut diperintahkan untuk menulis empat perkara, menulis rezekinya apa yang akan Allah subhanahu wata'ala berikan kepada makhluk ini selama hidupnya, ditulis

وَأَجَلَهُ

dan ditulis ajalnya kapan dia akan meninggal dunia dimana dia akan meninggal dunia, sebelum dia keluar dari perut ibunya sudah ditentukan rezekinya ditanggung oleh Allah subhanahu wata'ala rezekinya dan sudah ditentukan oleh Allah subhanahu wata'ala ajalnya, dia tidak akan meninggal kecuali sudah sempurna rezekinya, dia tidak akan meninggal kecuali sudah sempurna ajalnya

وَعَمَلَهُ

dan juga amalannya yang akan dia lakukan selama di dunia baik perkara yang merupakan ketaatan kemaksiatan atau perkara yang mubah ditulis

وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ

dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau orang yang berbahagia, kebahagiaan dia celakanya dia maka ini sudah ditulis juga sebelum dia dilahirkan

وَنَحْوَ ذَلِكَ

dan yang semisalnya. Ini ada di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

kemudian nih diutus kepadanya seorang malaikat dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu menulis rezekinya ajalnya amalannya dan juga apakah dia ini menjadi orang yang berbahagia atau orang yang celaka, yang ditulis di sini bedanya dengan apa yang ada di dalam lauhul mahfūdz kalau yang ada di dalam lauhul mahfūdz ini adalah semuanya bukan khusus, adapun yang ditulis ketika seseorang berada di dalam perut ibunya maka sebagaimana dalam hadits yang ditulis khusus untuk janin ini yaitu empat perkara saja, rezekinya ditulis ajalnya ditulis amalannya ditulis kebahagiaan dan kesusahan dia juga ditulis.

Dan perlu diketahui bahwasanya apa yang ditulis oleh malaikat tadi tidak keluar dari apa yang Allah subhanahu wata'ala tulis dalam lauhul mahfūdz, itu adalah bagian dari apa yang ada di dalam lauhul mahfūdz. Jadi kalau di dalam lauhul mahfūdz ditulis tentang rezeki seseorang takdir-takdir dari makhluk ini maka di dalam penulisan malaikat ini juga ketika dia menulis rezekinya itu juga tidak berbeda dengan apa yang ditulis oleh Allah subhanahu wata'ala di dalam lauhul mahfūdz, ajalnya juga demikian amalnya juga demikian. Berarti disana ada yang umum dan disana ada penulisan yang khusus.

Dan para ulama menjelaskan diantara penulisan yang khusus selain penulisan taqdir dari janin yang ada dalam perut seorang ibu di sana ada takdir sanan atau hauliy, kalau ini tadi dinamakan dengan takdir al-umriy (takdir yang ditulis untuk seumur seseorang sampai dia meninggal dunia), disana ada takdir al-hauliy (haul artinya adalah setahun) yaitu takdir yang ditulis setiap tahun, ditulis takdir yang akan terjadi selama setahun ke depan, ini dinamakan dengan takdir hauliy yang ada dalam Firman Allah subhanahu wata'ala

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ ١

Kami menurunkan Al-Qur’an pada lailatul qadar, ada yang mengatakan lailatul qadar disini malam al-qadar karena disitu ditulis takdir yang terjadi selama satu tahun kedepan sebagaimana juga dalam Firman Allah subhanahu wata'ala

فِيهَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ ٤
[Ad-Dukhan]

Didalamnya akan diputuskan seluruh perkara yang kokoh dan bijaksana, yaitu ditakdirkan dimalam tersebut, inilah yang dimaksud dengan takdir hauliy.

Dan apa yang ada dalam takdir hauliy juga tidak akan terlepas dan tidak akan berbeda dengan apa yang tertulis di dalam Lauhul Mahfudz, bedanya Lauhul Mahfudz ini umum adapun takdir yang sanawiy hauliy maka ini adalah khusus untuk tahun tersebut tidak ditulis tiga tahun yang akan datang hanya yang tahun tersebut saja, berarti dia lebih khusus.

Disana ada takbir yaumiy, yaitu setiap hari Allah subhanahu wata'ala mematikan sebagian menghidupkan yang lain memuliakan sebagian dan menghinakan yang lain sebagaimana Firman Allah subhanahu wata'ala

كُلَّ يَوۡمٍ هُوَ فِي شَأۡنٖ ٢٩
[Ar-Rahman]

setiap hari Allah subhanahu wata'ala dalam urusan yaitu menghidupkan mematikan menciptakan memberikan rezeki memuliakan menghinakan maka ini adalah dinamakan dengan takdir yaumiy. Dan tiga jenis ini tidak terlepas dari takdir yang ada di dalam Lauhul Mahfudz.

فَهَذَا التَّقْدِيرُ قَدْ كَانَ يُنْكِرُهُ غُلاةُ الْقَدَرِيَّةِ قَدِيمًا، وَمُنْكِرُهُ الْيَوْمَ قَلِيلٌ

Maka takdir ini telah diingkari oleh ghulatul qadariyyah, yaitu derajat yang pertama ini tentang masalah ilmu dan juga penulisan di dalam Lauhul Mahfudz ini telah diingkari oleh ghulat (yang sangat berlebihan yang sangat ekstrim) dari sekte qadariyyah, karena mereka berlebihan dan sangat berlebihan sehingga mereka mengingkari ilmu Allah subhanahu wata'ala.

Mereka mengatakan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala tidak mengetahui sesuatu kecuali setelah terjadinya dan ini muncul di zaman para sahabat sebagaimana disebutkan dalam atsar Abdullah ibn Umar ketika beliau berada di Mekkah dan datang dua orang yang berasal dari Bashrah atau dari Kufah kemudian mereka berusaha untuk mencari sahabat Nabi ﷺ karena telah terjadi sesuatu yang besar di daerahnya.

Kemudian ketika melihat Abdullah ibn Umar mereka datang dan menceritakan bahwasanya muncul di sana orang yang mengatakan tidak ada takdir dan bahwasanya sesuatu itu terjadi dengan sendirinya bukan diawali dengan ilmu Allah subhanahu wata'ala bukan diawali dengan penulisan Allah subhanahu wata'ala terjadi sekarang dan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala tidak mengetahui kejadian kecuali setelah terjadinya, ini ghulatul qadariyyah, dan diingkari oleh Abdullah ibn Umar dan mengabarkan kabarkan kepada mereka bahwasanya Abdullah ibn Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dari Abdullah ibn Umar dan kabarkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala tidak akan menerima dari mereka shodaqoh sebesar gunung emas sampai mereka beriman dengan takdir.

Menunjukkan bahwasanya orang yang meyakini demikian dia telah keluar dari agama Islam, tidak akan diterima amalnya sebesar apapun amalan tadi kalau dia sudah keluar dari agama Islam, inilah yang diingkari oleh ghulatul qadariyyah

قَدِيمًا

Dulu, muncul di zaman Abdullah ibn Umar, dan orang yang terjerumus kedalamnya maka dia keluar dari agama Islam

وَمُنْكِرُهُ الْيَوْمَ قَلِيلٌ

Dan yang mengingkari derajat ini di hari ini (di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) itu sedikit, ada tapi sedikit, zaman dulu banyak tapi di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ada tetapi mereka sedikit.

Ada yang mengatakan diantara ghulatul qadariyyah disini adalah Ma’bad Al-Juhani, ini diantara keyakinan mereka, kemudian Ghilan ad-dimasyqi, ada mengatakan mereka ini termasuk ghulatul qadariyyah, orang yang mengingkari ilmu Allah subhanahu wata'ala kitabatullah.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url